Saturday, August 22, 2015

TUGINEM (2)

Dugaan Semula : Gempa ini bersumber dari Merapi
Diapun mulai berkisah dengan agak terbata. Pada saat bus mini yang ditumpanginya melaju seperti biasa, kadang berhenti tuk menaikkan penumpang, yang hampir bisa dipastikan bahwa mereka adalah pelajar atau mbok-mbok bakul dan pedagang lainnya. Bus berhenti “ngetem” sebentar di pertigaan kecamatan kemudian kembali melaju ke utara. Beberapa saat kemudian bus seperti oleng namun sang sopir masih nampak tenang-tenang saja. Keadaan mulai berubah ketika mereke melihat bagaimana bangunan-bangunan di kiri kanan jalan mulai runtuh. Gedung SMP Negeri I Imogiri nampak gentengnya berjatuhan. Lebih ke utara lagi keadaan makin parah, orang-orang panik . Barulah sang sopir menyadari apa yang terjadi. Dia pun banting setir memutar bus, bermaksud kembali ke terminal di kompleks Pasar Imogiri. Namun jalanan sudah banyak tertutup reruntuhan dan debu berhamburan di udara membuat suasana kacau semakin pengap. Bus hanya bisa berhenti di barat pasar. Para penumpangpun berhamburan keluar, membawa berjuta pertanyaan tentang apa dan bagaimana bahkan mengapa ini terjadi.

Ketika Isu Tsunami menerjang ...
Di sepanjang perjalanan pulang, kami sempatkan membantu mereka yang membutuhkan pertolongan. Ada yang terluka, tertindih reruntuhan dan sebagainya. Bahkan beberapa ditemukan sudah meninggal.
Istri dan ke dua anakku pada saat gempa terjadi juga secara reflek berlari ke tengah jalan, mencari tempat yang longgar tanpa bangunan.
Dan kamipun berkumpul kembali di pelataran rumah. Secara berombongan kami mulai memeriksa keadaan sekitar yang benar-benar porak poranda. Sebagian besar bangunan rumah roboh atau setidaknya rontok dan miring di beberapa sudut. Banyak yang tertegun bengong dan belum sepenuhnya sadar akan apa yang sebenarnya terjadi. Wajah-wajah tanpa ekspresi. Kami mulai memeriksa sekitar rumah kami. Belum berani masuk terlalu dalam ke rumah.  Bangunan rumah kami utuh. Hanya sepertiga bagian sisi kiri temboknya remuk total karena tertimpa rumah besar sebelah. Genteng dan kayu berhamburan menumpuk bercampur reruntuhan tembok rumah kami. 
 Sejenak kamipun berbincang dengan tetangga yang kebetulan berkumpul di depan rumah. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seruan : “tsunami ...!!!” Hampir bersamaan kami tertegun dan seperti tersugesti mengiyakan. Sebagian mungkin membayangkan tunami yang menerjang wilayah mauleboh Aceh dan sekitarnya di akhir tahun 2004. Tanpa pikir panjang kamipun mengikuti arus mereka yang berduyun-duyun berjalan cepat ke arah utara menuju pegunungan di seberang sungai. Desapun ditinggalkan hampir semua penghuninya. Tak peduli rumah dan apapun yang tertinggal.
Di seberang sungai kami melihat seekor kera yang nampak panik berloncat-loncat di dalam kandangnya. Sementara pemilik rumah pasti sudah sampai di puncak bukit. Di penghentian ujung jalan kami bertemu para sesepuh dan tokoh kampung. Setelah beroordinasi dan selesai mengantar anak-anakku naik, akupun kembali turun ke kampung atas saran beberapa orang karena ayahku masih di sana, menjaga wilayah mungkin. Setengah berlari akupun menyibak kerumunan orang yang antri menaiki jalan setapak perbukitan. Aku temukan ayahku berada di atas atap cor masjid, sendirian. Dengan ringkas aku jelaskan apa yang sebaiknya dilakukan. Beliaupun menurut.
Di dekat jembatan kali kecil aku sudah dicegat beberapa orang. Aku diminta memastikan kebenaran isu tsunami. Menurutku, cara paling baik adalah naik gunung yang tinggi agar bisa melihat laut. Dengan menaiki motor yamaha butut aku berboncengan dengan seorang teman. Sepanjang perjalanan, kampung-kampung senyap. Hanya ada satu dua orang nampak berjaga. Setelah saling sapa dan mendoakan aku segera tancap gas menuju jalan utama ke arah bukit Mangunan. Siapapun akan trenyuh melihat apa yang terhampar di sepanjang jalan. Penuh sesak dengan penduduk yang berjalan terhuyung mencari tempat-tempat tinggi. Tubuh lusuh penuh debu dan luka-luka yang membalut tak lagi dihiraukan. Kami seringkali berhenti untuk menyapa, ataupun memberikan pertolongan. Kira-kira sepuluh menit kemudian  kami sampai di bukit yang cukup tinggi. (Bukit itu sekarang sudah dikeruk dan menjadi destinasi perhentian wisata dan para rider, dikenal dengan nama Bukit Bego.) , lanjut ke sini

No comments:

Post a Comment

Bensae Community is dedicated to be a virtual home for empowerment and enlightenment. Thanks for visiting.