Dugaan Semula : Gempa ini bersumber dari Merapi
Diapun mulai berkisah dengan agak terbata. Pada
saat bus mini yang ditumpanginya melaju seperti biasa, kadang berhenti tuk
menaikkan penumpang, yang hampir bisa dipastikan bahwa mereka adalah pelajar
atau mbok-mbok bakul dan pedagang lainnya. Bus berhenti “ngetem” sebentar di
pertigaan kecamatan kemudian kembali melaju ke utara. Beberapa saat kemudian
bus seperti oleng namun sang sopir masih nampak tenang-tenang saja. Keadaan
mulai berubah ketika mereke melihat bagaimana bangunan-bangunan di kiri kanan
jalan mulai runtuh. Gedung SMP Negeri I Imogiri nampak gentengnya berjatuhan.
Lebih ke utara lagi keadaan makin parah, orang-orang panik . Barulah sang sopir
menyadari apa yang terjadi. Dia pun banting setir memutar bus, bermaksud
kembali ke terminal di kompleks Pasar Imogiri. Namun jalanan sudah banyak
tertutup reruntuhan dan debu berhamburan di udara membuat suasana kacau semakin
pengap. Bus hanya bisa berhenti di barat pasar. Para penumpangpun berhamburan
keluar, membawa berjuta pertanyaan tentang apa dan bagaimana bahkan mengapa ini
terjadi.
Ketika Isu Tsunami menerjang ...
Ketika Isu Tsunami menerjang ...
Di sepanjang perjalanan pulang, kami sempatkan
membantu mereka yang membutuhkan pertolongan. Ada yang terluka, tertindih
reruntuhan dan sebagainya. Bahkan beberapa ditemukan sudah meninggal.
Istri dan ke dua anakku pada saat gempa terjadi
juga secara reflek berlari ke tengah jalan, mencari tempat yang longgar tanpa
bangunan.
Dan kamipun berkumpul kembali di pelataran rumah. Secara
berombongan kami mulai memeriksa keadaan sekitar yang benar-benar porak
poranda. Sebagian besar bangunan rumah roboh atau setidaknya rontok dan miring
di beberapa sudut. Banyak yang tertegun bengong dan belum sepenuhnya sadar akan
apa yang sebenarnya terjadi. Wajah-wajah tanpa ekspresi. Kami mulai memeriksa
sekitar rumah kami. Belum berani masuk terlalu dalam ke rumah. Bangunan rumah kami utuh. Hanya sepertiga bagian
sisi kiri temboknya remuk total karena tertimpa rumah besar sebelah. Genteng
dan kayu berhamburan menumpuk bercampur reruntuhan tembok rumah kami.
Di seberang sungai kami melihat seekor kera yang
nampak panik berloncat-loncat di dalam kandangnya. Sementara pemilik rumah pasti
sudah sampai di puncak bukit. Di penghentian ujung jalan kami bertemu para
sesepuh dan tokoh kampung. Setelah beroordinasi dan selesai mengantar
anak-anakku naik, akupun kembali turun ke kampung atas saran beberapa orang
karena ayahku masih di sana, menjaga wilayah mungkin. Setengah berlari akupun
menyibak kerumunan orang yang antri menaiki jalan setapak perbukitan. Aku
temukan ayahku berada di atas atap cor masjid, sendirian. Dengan ringkas aku jelaskan
apa yang sebaiknya dilakukan. Beliaupun menurut.
Di dekat jembatan kali kecil aku sudah dicegat
beberapa orang. Aku diminta memastikan kebenaran isu tsunami. Menurutku, cara
paling baik adalah naik gunung yang tinggi agar bisa melihat laut. Dengan
menaiki motor yamaha butut aku berboncengan dengan seorang teman. Sepanjang
perjalanan, kampung-kampung senyap. Hanya ada satu dua orang nampak berjaga.
Setelah saling sapa dan mendoakan aku segera tancap gas menuju jalan utama ke
arah bukit Mangunan. Siapapun akan trenyuh melihat apa yang terhampar di
sepanjang jalan. Penuh sesak dengan penduduk yang berjalan terhuyung mencari
tempat-tempat tinggi. Tubuh lusuh penuh debu dan luka-luka yang membalut tak
lagi dihiraukan. Kami seringkali berhenti untuk menyapa, ataupun memberikan
pertolongan. Kira-kira sepuluh menit kemudian kami sampai di bukit yang cukup tinggi. (Bukit
itu sekarang sudah dikeruk dan menjadi destinasi perhentian wisata dan para
rider, dikenal dengan nama Bukit Bego.) , lanjut ke sini
No comments:
Post a Comment