Pengantar.
Tulisan ini dibuat bukan untuk mengungkit tragedi apalagi meratapi. Dalam rentang waktu lebih dari sewindu (delapan tahun) setelah tragedi itu, saya merasa yakin bahwa nalar yang jernih akan mampu mengambil hikmah dari sebuah tragedi yang menimpa penduduk Yogyakarta dan sekitarnya. Setiap individu yang mengalami peristiwa itu tidak diragukan lagi merupakan pelaku sejarah yang apabila dituangkan dalam bentuk tulisan akan merupakan warisan yang sangat bernilai.Sikap heroisme yang luar biasa telah ditorehkan secara berjamaah. Nanti kita juga akan melihat bahwa sikap itu menjadi agak memudar ketika tiupan badai "jadup" dan "dana rekonstruksi" menerpa.
Dalam penanggalan jawa, orang biasa menggunakan nama pasaran (pon, wage, kliwon, legi, paing) untuk melengkapi nama hari. Sabtu Wage pada bulan Mei tahun Duaribu Enam, bertepatan dengan tanggal 27. Ya, 27 Mei 2006 (TUGINEM adalah singkatan dari sabTU waGe meI duaribueNem). Ada bencana besar menimpa warga Yogyakarta dan sekitarnya. Tak seorangpun
menduga, bahkan terlintas dalam fikiranpun tidak, bahwa hanya dalam waktu
kurang dari satu menit, lebih tepatnya limapuluh dua detik, segalanya berubah. Hari itu jam 05.50 wib. Gempa dahsyat menggoncang.
Antara firasat dan Ilham.
Malam Kamis Paing, dua hari sebelum gempa.
Seorang tetangga bercerita bahwa anaknya yang nomor dua, yang dianggap berkebutuhan khusus, semalaman menangis dan berkata : "...sebaiknya tidur di luar saja, membuat tenda di bawah pohon di halaman." Permintaan itu diulangi lagi pada malam berikutnya.
Malam Jum'at Pon
Seorang teman bercerita bahwa pada malam itu adiknya bermimpi berjumpa dengan almarhumah ibunya yang berpesan agar dia meninggalkan rumah itu, tidur di luar saja.
Saya pribadi memanggap, kalau kedua kisah itu benar, bahwa keduanya hanyalah contoh firasat dan ilham yang memang sulit difahami maksudnya sebelum kejadian.
Semoga tulisan ini mambawa manfaat. Amin.
1. Pecahnya Keheningan Hati
Pagi
itu, seperti biasa, anakku nomor dua sudah berangkat ke sekolah di SD Sapen
Nitikan Yogyakarta dengan menumpang bus mini. Istriku beserta dua anakku yang
lain sedang membeli sarapan di pinggir jalan raya, di pojok timur pasar
Imogiri. Aku sendiri bersama anakku yang sulung lagi asyik mencuci moor yamaha
alfa ditemani si kecil yang kegirangan bermain air. Sungguh bagai mimpI, suasana
cerah ceria pagi itu berubah seketika menjadi hiruk pikuk kepanikan dan
ketakutan. Berawal dari suara gemuruh dari dalam tanah dibarengi getaran yang
secara cepat menjalar merayap pada apapun yang berada di atas tanah. Masih
dalam keadaan seperti tak sadar akan apa yang sebenarnya sedang terjadi,
tiba-tiba terdengar suara runtuh dan ambruknya rumah-rumah di sekitar tempat
kami duduk. Pohon yang menjulang di halaman rumah kami bagaikan raksasa hijau
tua yang menari garang. Di sebelah jalan kampung, batu bata benteng makam
beterbangan dibarengi debu berhamburan, hitam kecoklatan. Udara seperti
diselimuti kabut tebal, padahal itu adalah debu beterbangan. Motor yang ambruk
menyadarkanku. Segera kutarik tangan si kecil , aku berlari ke makam, tempat
yang terbuka. Disanalah si kecil keletakkan. Si sulung berlari menyusul. Dan
Brukkk !!! Rumah di selatan kami runtuh menimpa rumah kami. Kepulan debu dan
gemuruh reruntuhan membuat kami sukar mendengar suara jerit tetangga. Dalam
keadaan tanah masih berguncang, lamat-lamat aku melihat orang-orang mulai
menuju tempat-tempat lapang. Hanya sesaat. Ya, Maha Suci Alloh, yang dengan
kuasa –Nya semua ini terjadi. Keadaan semua berubah. Jalan kampung tertutup
reruntuhan. Benteng panjang di pinggir jalan juga nampak miring. Suara-suara
rintih dan jerit mulai bersahutan. Aku suruh ke dua anakku beserta beberapa
orang yang ada di makam untuk tenang. Dengan berlari aku midak menuju rumah
bapakku yang nampak porak poranda namun masih berdiri. Dan, ... apa yang beliau
lakukan di dalam rumah sendirian ? Beliau lagi mengaduk teh hangat yang baru
saja dituang ke dalam gelas. Kondisi pendengran beliau yang sudah banyak
berkurang mungkinkah menyebabkan beliau tak mendengar semua ini ? Namun ketika
kutepuk pundak beliau sambil memberi isyarat, beliau nampak kaget. Apalagi
setelah kuajak keluar dan mirsani sendiri keadaan di luar rumah . Beliaupun
kuajak bergabung dengan yang lain ke tanah makam di depan rumah kami.
Mendadak kami
mendengar suara tangis, aku pun berlari ke rumah sebelah. Seorang ibu sedang
duduk berpelukan dengan putrinya di pojok depan halaman. Segera kuisyaratkan
agar bangkit dan menuju tanah makam. Untuk sementara, aku bisa bernafas. Namun
segera kuingat, bagaimana dengan anakku yang sudah naik bus dan istriku yang
membawa dua anak yang lain ? Sepanjang mata memandang hanyalah onggokan dan
tumpukan reruntuhan bangunan. Jalan
nyaris tertutup. Dengan menaiki motor aku mencoba menerobos sela-sela tembok
yang sudah roboh. Di sepanjang jalan orang-orang nampak lesu berdebu dan bahkan
berdarah. Sesampai di jalan utama, aku makin bengong. Pasar sudah hancur. Jalan
tertutup. Tangis terdengar di sana-sini. Di kejauhan timur sana, kulihat
istriku menggendong dan juga sekaligus menggadeng anakku yang lain. Akupun ke
sana. Hampir seperempat jam waktu yang kubutuhkan untuk menuju jarak yang tak
lebih dari duaratus meter itu. Toko-toko dan kios pasar nampak rusak parah.
Dagangan banyak berserakaan tak keruan, namun setiap orang baru memikirkan
diri, keluarga , tetangga, kerabat dan lainnya. Alhamdulillah, kami bisa
berkumpul tanpa luka sedikitpun. Padahal di sekitar kami, betapa banyak yang
terluka bahkan beberapa orang dikabarkan meninggal. Ketika istriku bertanya :
“Bagaimana dengan yang sudah berangkat naik bus ke sekolah di Yogya ?” Aku
terpaku. Ya, sampai dimana bus yang ditumpanginya ? Bagaimana keadaannya ?
Masih jelas kuingat kegelisahan bercampur kebingungan juga membayang di wajah
istriku. Dan di saat yang genting itulah, Gusti Alloh kembali menunjukkan
kekuasaan-nya. Betapa tidak, anak lelakiku yang berseragam putih-putih bertopi
merah dengan menenteng tas sekolah muncul
berjalan kaki dari arah selatan. Kami lihat ada ketegangan luar biasa di raut mukanya. Ternyata dia mengalami
kebingungan mencari jalan pulang. Kenapa ? Karena hampir seluruh bangunan di
pinggir jalan runtuh dan menutupi jalan raya. (bersambung ke sini)
No comments:
Post a Comment