Saturday, December 24, 2011

Para Sahabat Nabi


MUSH’AB BIN UMAIR (1) *)
Dia adalah seorang rupawan. Sebagai seorang remaja yang tumbuh dan dibesarkan di lingkungan bangsawan  Qurays dengan limpahan kemewahan dalam kesehariannya, dia senantiasa menjadi buah bibir warga kota Mekah. Bagaimana tidak, dia lahir, tumbuh dan dibesarkan dalam kesenangan, serba kecukupan serta dimanjakan oleh orangtuanya. Gadis-gadis Mekah menjadikannya bintang  dalam setiap pertemuan. Ya, Mush’ab bin Umair …itulah namanya.

 Seorang pemuda yang dianugerahi Alloh  karunia yang besar.
Bagaimana tidak ? Dalam usianya yang relatif muda  dia telah memperoleh sesuatu yang tak ternilai harganya, bahkan untuk hal itu, dia rela meninggalkan gemerlap kehidupan dunia yang selama ini disandangnya. Pada suatu hari, Mush’ab hadir di hadapan beberapa orang muslim yang sedang duduk mengelilingi  Rasulullah saw. Demi melihat kehadiran pemuda itu,  mereka menundukkan kepala seraya memejamkan mata, sebagian bahkan meneteskan air mata duka mendalam. Mereka sepertinya tak tega melihat Mush’ab memakai jubah usang penuh tambalan, padahal masih terekam jelas dalam ingatan mereka, bagaimana penampilan Mush’ab sebelum masuk Islam, tak ubahnya bak kembang di taman, warna warni dan menghamburkan aroma wangi.  Adapun Rasulullah saw menatapnya dengan pandangan sarat makna disertai cinta kasih dan syukur, pada bibir beliau tersungging senyuman mulia, seraya berkata : “ Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang menandingi dalam memperoleh kesenangan dari orangtuanya kemudian semua itu ditinggalkannya demi cintanya kepada Alloh dan Rasulnya.”  Sungguh sebuah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan perjalanan “spiritual” pemuda ini.  
 Berikut cuplikan riwayatnya.
Ketika perhatian dan pembicaran masyarakat Mekah terpusat pada berita kenabian Muhammad saw yang mengatakan bahwa dirinya telah diutus Alloh sebagai pembawa berita suka maupun duka, serta mengajak umat beribadah hanya kepadaNya semata, Mush’ab termasuk yang paling sering mendengar dan mendengarkannya. Salah satu yang dicermatinya adalah bahwa kabarnya Rasulullah bersama para pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang jauh dari keramaian yaitu di bukit Shafa, di rumah Arqam bin Abil Arqam. Maka pada suatu senja, diapun menuju ke rumah itu bersama sebuah rombongan. Barusaja dia duduk dan mendengarkan ayat-ayat Qur’an yang disampaikan Rasulullah, kalbunya telh diliputi rasa terpesona dan nyaris dia loncat dari tempat duduknya karena rasa haru dan gembira bercampur. Namun Rasul segera mengulurkan tangannya yang penuh berkah, mengurut dada Mush’ab yang sedang bergejolak hingga tiba-tiba lubuk hati pemuda itu menjadi tenang dan damai lagi memiliki ilmu hikmah yang luas melebihi ukuran usianya.
Begitu meninggalkan majelis mulia itu, serasa Mush’ab menapaki dunia baru dan diapun sadar akan resiko serta konsekuensinya. Minimal, seluruh penduduk Mekah pasti akan mengejeknya. Namun semua itu dianggapnya enteng. Satu-satunya yang dianggapnya berat adalah reaksi ibunya nanti ketika mengetahui ke Islamannya. Iapun berfikir keras untuk menyembunyikan keimanannya dari ibunya sampai terjadi sesuatu yang Alloh kehendaki. Demikianlah, pemuda ini rajin bolak-balik ke rumah Arqam tuk menghadiri majelis Rasulullah dengan tebusan amarah dan murka ibundanya seandainya mengetahui hal itu.
Tetapi di kota Mekah tiada hal yang dapat disembunyikan, apalagi dalam suasana seperti itu. Mata-mata Qurays bertebaran di mana-mana. Suatu waktu ada yang melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam secara diam-diam dan juga shalat seperti Muhammad saw. Secepat kilat berita itupun disampaikan kepada Khunas binti Malik, ibunda Mush’ab. Dengan amarah luar biasa, sang ibu “mengadili” putranya …dan sejak itulah diapun memutuskan untuk menghentikan semua pemberian dan fasilitas hidup bagi Mush’ab. Akhirnya, pada hari itu  berdirilah Mush’ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Qurays yang hadir di rumahnya. Dengan penuh keyakinan disampaikannya ayat-ayat Qur’an untuk mencuci hati nurani mereka, kemudian mengisinya dengan kemulian. Ketika sang ibu bermaksud membungkam mulut putranya dengan sebuah tamparan keras, mendadak tangan itu terkulai demi memandang wajah putranya yang seolah memancarkan nur berwibawa dan menyejukkan. Namun toh hal itu tak menghentikan niatnya untuk menghukum Mush’ab. Di bawalah Mush’ab ke sebuah tempat terpencil di rumahnya lalu dikurung dan dipenjarakan. Dalam kesendirian itulah Mush’ab banyak merenung, sampai suatu saat dia mendengar kabar perintah hijrah ke Habsyi. Maka setelah berfikir keras, diapun  bisa menemukan cara melepasakan diri dari kurungan ibunya untuk kemudian bergabung ikut hijrah bersama beberapa sahabat Rasulullah.
Akhir pertemuan Mush’ab dengan sang ibu sungguh mengharukan. Ketika itu sepulang dari Habsyi, Mush’ab akan dikurung lagi oleh ibunya. Namun Mush’ab bersumpah akan memerangi orang-orang suruhan ibunya itu kalau hal itu benar dilakukan. Sang ibupun luluh demi melihat keteguhan dan sikap putranya itu. Dengan berlinang air mata dilepasnya kepergian Mush’ab dengan ucapan, “ Pergilah sesukamu, aku bukan lagi ibumu.”
Mush’abpun menangis sendu seraya menghampiri ibunya dan berkata :” Wahai bunda, telah ananda sampaikan nasehat kepada bunda dan ananda sungguh menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa Tiada Tuhan kecuali Alloh dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya.”
Dengan raut murka dan naik darah ibunya menyahut : “ Demi bintang. Sekali-kali tak akan aku masuk agamamu itu. Otakku bisa rusak dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lagi.”  (bersambung)
*) dari kitab  Rijal Haul ar Rasul karya Khalid Muhammad Khalid

No comments:

Post a Comment

Bensae Community is dedicated to be a virtual home for empowerment and enlightenment. Thanks for visiting.