Sri Tanjung (?) : Sisi lain dari Sri Gethuk ...
Sri gethuk terkenal dengan air terjun yang
menghujam ke bebatuan sebelum akhirnya seperti meleleh, memasuki aliran sungai yang tenang. Gemuruh
suaranya berpadu dengan aliran sungai yang menimpa bebatuan . Sepanjang mata
memandang, bentangan tepiannya sangat mempesona. Terletak di aliran sungai Oya
menjadikan tempat ini nyaris tanpa pernah mengalami kekeringan bahkan di musim
paling kering saat puncak kemarau sekalipun. Justru di saat itu air akan
kelihatan jernih dengan bebatuan berhias lumut menjadikan pernik-pernik warn
kehijauan di sana sini.
Pagi ini, melihat cuaca cukup cerah,
kamipun bermaksud mengunjungi tempat itu. Biasanya para pengunjung menempuh
jalur via Banaran , Gunung kidul. Dari arah Yogyakarta bisa lewat jalan Wonosari kemudian ambil arah kanan di
pertigaan ke arah Paliyan – Playen . Selepas Pasar nanti akan ada sebuah papan
penunjuk menuju air terjun Sri Gethuk. Akses jalan ke lokasi cukup bagus ditambah juga fasilitas parkir yang
memadai tentu menjadi daya tarik tersendiri. Juga di sana telah berdiri banyak
kios maupun warung. Di sini, para
pengunjung berada di tepi timur sungai Oya.
Adapun jalur yang akan kami tempuh berbeda
karena kami mengambil jalan menuju Sri gethuk dari sisi
barat sungai yang konon diberi nama Sri Tanjung. Kabarnya sudah ada jalan
setapak yang konon belum begitu lama direhab dan akses ke lokasi menjadi
mungkin meski hanya berjalan kaki melalui trap anak tangga.
anak tangga menuju sisi lain dari srigethuk
Misalkan posisi anda di Yogyakarta, anda bisa
lewat jalan Wonosari juga namun nanti belok kanan di perempatan Pathuk, ambil
arah menuju Dlingo. Sebelum sampai di Polsek Dlingo anda belok kiri menuju
jembatan Dhodhokan. Nan, setelah turunan dan tanjakan cukup tajam yang ke dua,
sebelum jalanan menurun ke jembatan, anda akan menjumpai simpangan jalan
ditandai dengan pohon beringin dalam lingkaran. Banting setir anda ke kanan,
ikuti terus jalan di tengah perkampungan
itu. Ketika di ujung perkampungan, di hadapan akan terbentang pegunungan dengan
tanaman kayu putih dan pohon kemiri. Jalan beraspal berakhir di sini,
seterusnya jalur cor semen harus anda susuri. Semilir angin basah menandakan
bahwa tak lama lagi anda akan mencapai pinggir tebing sungai. Di situlah anda memarkir kendaraan anda. Seterusnya, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki
seperti inilah jalan menuju lokasi sebelum berakhir di anak tangga
Dari Yogyakarta anda juga bisa lewat
Imogiri kemudian menuju Dlingo via Mangunan (ini jalur yang kami tempuh). Di
pertigaan Mangunan ambil jalan serong kanan menuju kota kecamatan Dlingo.
Apabila lurus anda akan sampai di kawasan Wisata Hutan Pinus. Jalanan cukup
meliuk tajam apalagi di sebuah tempat bernama Kaliurang. Sangat dibutuhkan ke
hati-hatian utamanya bagi yang belum terbiasa melintasi jalur ini. Sebenarnya begitu lepas dari tanjakan Kaliurang
kami bermaksud “ngampiri” seorang teman
namun karena rumahnya masih tertutup rapat kamipun berlalu saja.
Di bekas Pasar
Dlingo kami belok kiri, ke utara menuju arah Dhodhogan itu. Nantinya kami akan
melihat bahwa ternyata akan lebih dekat apabila dari bekas pasar itu kami masuk
daerah Koripan menembus kawasan penduduk dan ladang sebelum akhirnya sampai di
sebuah perempatan kecil yang di sana ada papan nama “Goa Trondol.”
papan penunjuk jalan di perempatan kecil pojok sebuah gardu
Kami sampai di akhir pemukiman sekitar jam
setengah tujuh pagi. Cuaca masih cukup
dingin apalagi kami memang tidak mengenakan jaket mapun helm. Topi favoritpun
tidak dipakai karena sudah dicari-cari tidak juga ketemu sementara matahari
sudah semakin beranjak naik. Kebetulan pula anak-anak lebih memilih olahraga
ringan di rumah jadi kami pergi berdua plus si bungsu saja. Kadang, dalam perjalanan seperti ini, kami mampir di rumah teman ataupun saudara . Keramahan akan sangat
dirasakan di daerah seperti ini. Tak jarang penduduk utamanya yang kami jumpai
di lading-ladang, menyapa dengan ramah bahkan menawarkan air minum dan masakan
mereka.
Luar biasa bukan ? Di titik ini, kami sering teribat diskusi kecil
tentang bagaimanakah caranya membangun sebuah peradaban desa di kota dan
sebaliknya.
Tak terasa kami sudah sampai di ujung jalan yang berakhir di tempat parkir. Sudah cukup ramai suasananya...
tempat areal parkir
Tak terasa kami sudah sampai di ujung jalan yang berakhir di tempat parkir. Sudah cukup ramai suasananya...
tempat areal parkir
sang fotografer sekaligus reporter bensae , he..he cape nih
Kini, di hadapan kami terbentang jalan cor semen
melilit bukit. Matahari sudah hampir sepenggalah naik padahal waktu belum juga
menunjukkan pukul tujuh . Ada sekitar sepuluh menit kami ikuti jalan itu, sebelum akhirnyakami sempat berhenti
tuk istirahat sejenak di sebuah gasebo kecil di tebing jurang pinggir sungai. Ada onggokan
daun kayu putih yang sudah diikat dan siap diangkut. Mungkin, kemaren sore itu
dipotongnya dari pohon. Ya , memang di
sini banyak sekali ditanami pohon kayu putih.
Nampak di depan jalan berakhir di
anak tangga menurun. Kami pun segera menyusuri menapaki anak tangga yang cukup curam. Beruntung sudah
dipagar besi di sepanjang sisi kiri yang sering langsung berujung jurang. jalan setapak pararel dengan aliran sungai (kiri bawah) dan perbukitan (kanan)
Di bawah sana, aliran sungai Oya mengalir disertai suara gemuruhnya disela angin yang mulai semilir bertiup, cukup untuk mengusir rasa gerah kami.Di sisi kiri kami berupa gunung batu dengan tampang beraneka rupa. Bagi yang tak terbiasa akan merasa asing aneh atau bahkan ngeri melihat bebatuan bukit yang sepertinya sedtiap saat siap menerkam alias runtuh itu. O ya, bagi yang merasa lelah bisa duduk di sebuah batu yang sudah dibentuk seperti lantai. Lumayan, semilir angin dari arah bukit seberang bisa menghempaskan rasa capai sekaligus menambah energi kita.
silahkan ambil nafas sejenak di sini
Nah juga harus dicatat, untuk perbekalan alias logistik ya harus dipersiapkan sendiri lho karena di sini ga ada warung, he..he.
Kepada seorang peladang kami sempat bertanya dan berbincang. Sambil meracik rokok lintingan beliaupun menjamu kami dengan baik.
sang peladang yang ramah bersahaja, terimakasih
Perjalananpun kami lanjutkan. Jalan menukik tajam dan tak lagi berpagar besi. Sekarang kami seperti berada di tengah ladang dengan jalan setapak yang sudah dicor semen. Di akhir sebuah tikungan kami mendengar gemuruh air terjun. Inikah suara air terjun Sri Gethuk ?
jalan setapak yang lengang penuh kesejukan
Di sini kami bertemu persimpangan jalan : lurus dan ke kiri ada anak tangga menuju tepi kali. Kami ambil arah lurus menerobos semak meski jalan setapak telah dicor semen. Ternyata cor semen segera berakhir di ujung tikungan. Selanjutnya jalan setapak tanah bercampur pepohonan dan bebatuan di pinggir tebing. Butuh perjuangan ekstra memang.
pertigaan : kiri langsung ke sungai, lurus menuju lokasi air terjun
salah satu "perjuangan" sdepanjang jalan setapak penuh belukar di ujung tebing
Perjalanan yang cukup sulitpun berlalu sudah. Kelelahan hilang berganti lega. Ya, kini kami sampai tepat di depan air terjun Sri Gethuk dari sisi barat sungai. Suara gemuruhnya yang deras terdengar berbaur sorak dan canda para pengunjungnya. Sungguh pemandangan yang luar biasa. Dari balik kaki bukit yang berupa bebatuan itulah terlihat jelas pancaran keindahan air terjun dengan latar belakang rimbuannya pepohonan.
air terjuan terdengar bergemuruh di kaki bukit dan rimbun pepohonan seberang
Di kejauhan nampak aliran air yang tenang dan deretan rakit berwarna kebiruan yang masih ditambatkan di sisi seberang. Kami yakin itulah rakit-rakit yang biasa dipergunakan oleh para pengunjung. Juga, kami sempat melihat dengan jelas, di seberang sana, ada jalan setapak yang juga mirip anak tangga menuju tepi kali. Itulah jalan yang biasa dilalui untuk menuju air terjun.
salah satu area favorit pengunjung
Kami benar-benar menikmati suasana
ini. Kali ini kami bisa melihat secara utuh suasana area Sri Tanjung, sisi
lain dari air terjun Sri Gethuk.
No comments:
Post a Comment